Tuesday, April 19, 2016

PERAN DAN TANTANGAN SEORANG PEREKAM MEDIS

Dokter adalah seseorang dengan gelar dokter atau seseorang yang memiliki lisensi untuk praktik dalam seni penyembuhan penyakit, dimana dokter harus dapat mempertanggungjawabkan setiap tindakan yang sudah dan akan dilakukan terhadap pasien secara profesi. Namun, dengan diberlakukanya UU praktik kedokteran 2004 maka setiap tindakan yang dilakukan oleh dokter juga harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Pertanggungjawaban penyelenggaraan kesehatan ini harus memiliki sebuah alat bukti yang kuat secara tertulis (Peraturan Pemerintah No.269/Menkes/PER/III/2008, BAB III pasal (5)), sehingga semua hal tersebut harus terdapat dalam rekam medis. Sebagaimana sesuai dengan salah satu fungsi rekam medis yaitu “LEGAL” yang sering disingkat dengan istilah ALFRED.

Rekam medis mengalami perkembangan yang pesat dalam era saat ini, dimana bukan hanya berfokus pada pencatatan secara sederhana dengan hanya mengandalkan kertas, namun sudah banyak yang mulai beralih dengan menggunakan lesspaper bahkan di negara-negara maju sudah menggunakan Elektronik Medical Record (EMR) yang berbasis pada sistem komputerisasi. Dengan perubahan ini maka sebagai tenaga rekam medis yang profesional kita semakin memiliki tantangan yang berat untuk dapat berkembang dan mengikuti arus modernisasi jaman ini. banyak hal yang harus kita perbaiki dan kembangkan, dimana dalam proses ini dapat dikelompokkan menjadi beberapa kategori, diantaranya :
1.    Individu
Kemampuan dasar yang harus dimiliki oleh seorang tenaga rekam medis secara individu sudah coba saya jabarkan pada hasil tulisan saya sebelumnya dimana kemampuan tersebut berdasarkan PERMENKES RI No. 55 Tahun 2013
2.    Profesi
PORMIKI sebagai induk organisasi perekam medis di Indonesia memiliki tantangan dan tanggung jawab yang besar terhadap perkembangan profesi perekam medis di Indonesia ini. diantaranya :
A.   STR dan SIK
Tenaga rekam medis bukan hanya harus memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Ijin Kerja (SIK) saja, tetapi profesi harus lebih mengatur mulai dari pembuatan dan pemanfaatannya dalam dunia kerja. Tidak bisa dipungkiri, dalam beberapa proses pengurusan STR yang cukup sulit pembuatannya, dimana untuk mendapatkan STR ini kita sebagai tenaga rekam medis harus menunggu dalam waktu yang sangat lama. Setelah menunggu untuk waktu yang terkesan lama, kita juga kurang merasakan apa fungsi dari STR itu sendiri, dimana tidak ada sangsi atau aturan yang jelas dan tegas apabila prosesi rekam medis tidak memiliki STR (wilayah diluar Jawa lebih terasa akan hal ini).
Peran DPP PORMIKI yang kurang maksimal, seakan tidak ada pengawasan yang dilakukan oleh PORMIKI pusat yang bertempat di Jakarta tentunya.
B.   Pelatihan
Salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang perekam medis adalah koding. Koder adalah salah satu tenaga yang berperan dalam proses klaim penyelenggara kesehatan ke pihak pemberi jaminan kesehatan (BPJS misalnya).
Apakah tidak bisa memungkinkan untuk pelatihan ini lebih mengutamakan tenaga perekam medis yang sudah jelas sesuai dengan undang-undang, dimana dijelaskan bahwa tenaga koding adalah seorang lulusan rekam medis.
3.    Pemerintah
Pemerintah telah memberi kita payung hukum yang baik dalam perkembangan profesi rekam medis, mari kita manfaatkan dan sukseskan dasar hukum yang sudah dibuat oleh pemerintah tersebut.

Dewasa ini, hal yang menjadi sorotan dan diskusi seorang profesi rekam medis yang sudah bekerja, terutama di rumah sakit yang bekerja sama dengan pihak asuransi (terutama BPJS) adalah koding. Terdapat beberapa aturan dan prinsip dasar yang berbeda antara petugas koding dan pihak BPJS, dimana hal yang utama adalah prioritas dari masing-masing pihak dalam memberikan kode diagnosa pasien. Sebagai tenaga koder, kita lebih berprioritas terhadap apa saja yang ditulis oleh dokter dan apa saja penyakit yang diderita oleh pasien. Sedangkan dari pihak asuransi, lebih berprioritas terhadap efisiensi pembiayaan, dimana pihak asuransi adalah suatu badan usaha yang harus bisa mengcover seluruh penduduk Indonesia, sehingga mereka memiliki penilaian dan kriteria tersendiri yang berbeda dengan rumah sakit.

Dalam sisi Pelayanan medis, rumah sakit pada khususnya, memiliki dilema yang tidak dimiliki oleh pelayanan lain seperti hotel, restauran, perusahaan makan dll. Pelayanan medis adalah jenis pelayanan yang akan dimanfaatkan oleh masyarakat pada era modern sat ini, paling tidak masyarakat akan memanfaatkan pelayanan medis ini 1 kali dalam masa hidupnya.  Dilema yang dihadapi oleh pihak pemberi pelayanankesehatan adalah ketidakpastian dalam menentukan biaya kesehatan. Tidak semua hal dapat diprediksi dengan sempurna oleh RS. Dalam pelayan rumah sakit sering terdapat bad debt yaitu biaya pelayanan kesehatan yang tidak bisa ditagihkan kepada pasien maupun keluarga pasien, sehingga perlu dipikirkan suatu cara untuk meminimalisir hal tersebut. Perlu adanya alternatif dan kompensasi lain dari kejadian bad debt ini baik itu dari penerimaan pasien lain yang lebih sanggup untuk membayar, pihak perusahaan, asuransi dan juga kebijakan-kebijakan yang lain.

Perlu adanya komunikasi dan aturan yang jelas untuk menjembatani hal tersebut, sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan satu sama lain. Komunikasi yang efektif adalah kunci utama dari penyelesaian masalah ini.

Dahulu, ASKES dalam melakukan pembayaran terhadap puskesmas menggunakan sistem kapitasi sedangkan dalam membayar RS menggunakan sistem paket. Terjadi banyak perubahan dalam pelayanan pasien pada era BPJS ini, terdapat banyak hal baru dan tantangan-tantangan yang harus dihadapi oleh seluruh pihak, baik itu pemerintah, pihak asuransi (BPJS khususnya), pemberi pelayanan kesehatan, dan masyarkat itu sendiri.

Perlu adanya komunikasi 2 arah antara penyelenggara pelayanan kesehatan dan pihak asuransi BPJS guna menyelesaikan masalah yang dihadapi di lapangan. Adanya perbedaan persepsi dan arah kebijakan akan sangat merugikan salah satu pihak, dimana kerugikan dari salah atu pihak ini akan sangat mempengaruhi pihak konsumen yang dalam hal ini adalah pasien. Pasien akan merasa dirugikan dengan beberapa kasus di lapangan yaitu, pembatasan jumlah kamar yang sesuai hak (diharapkan pasien akan meminta naik kelas karena apabila pasien dirawat sesuai hak maka 100% pasien tersebut tidak mengeluarkan biaya apapun), pasien merasa dilempar dari 1 RS ke RS lain, pelayanan yang diberikan kurang optimal karena masalah efisiensi dari RS (mengurangi obat, pelayanan penunjang, dll), pengurusan persyaratan rawat inap terkesan berbelit-belit, dll. Hal – hal tersebut adalah sebagian kecil yang dirasakan oleh pasien  dan masih banyak hal lain yang harus diselesaikan dengan duduk bersama.

Kita sebagai seorang perekam medis yang profesional diharapkan dapat memberikan kontribusi yang berarti dalam mengubah dan memajukan profesi kita, baik itu dalam organisasi profesi maupun di rumah sakit tempat kita bekerja.